” Aku ingin sekali menyampaikan dakwah ini sampai kepada janin yang ada didalam perut ibu mereka “ -Hasan Al Banna ra-
Sebuah wawancara sederhana yang terekam oleh sebuah majalah Islam menjadi inspirasi saya menulis hal ini. Berawal dari kisah seorang ibu, isteri dari ustadz Mutammimul Ula, sekaligus bunda dari anak-anak penghafal qur’an. Sepuluh orang anak beliau, semuanya, –Subhanallah—menjadi hafidz dan hafidzah. Beliau yang biasa di sapa Ibu Wirianingsih ini, kala itu, melontarkan sebuah statemen, redaksional yang menarik tentang bagaimana struktur pendidikan rumah tangga yang dibangun, yang ternyata merupakan hasil seting pendidikan sang suami, “ Yang membentuk mereka, termasuk saya, adalah Bapak mereka. Saya hanya pelaksananya saja. Ibarat membuat sebuah bangunan, suami sayalah yang merancang dan membuat kerangkanya, lalu saya yang mengisinya.
Setelah membaca petikan wawancara tersebut, muncul pertanyaan dalam benak saya tentang bagaimana seharusnya sentuhan pendidikan sang ayah terhadap anak-anaknya? Adakah contoh praktis praktis yang ditinggalkan oleh para ulama dan orang-orang shalih terdahulu tentang bagaimana kehidupan rumah tangga mereka? Dan bagaimana sentuhan pendidikan yang dialami anak-anak mereka?
Apalagi ditengah ragam asumsi yang memikulkan tanggung jawab pendidikan hanya pada pundak sang ibu. Memang tak ada yang menafikkan peran-peran besar yang ada di tangan seorang ibu bagi masa depan anak-anaknya. Seorang ibu, bagaimanpun mempunyai pengaruh penting dalam mendidik dan membentuk kepribadian anak. Lalu bagaimanakah peran ayah? Ketika sebagian masyarakat cenderung berpandangan bahwa pengasuhan dan pendidikan anak adalah tugas ibu. Sedangkan ayah, cukup bekerja dan mencukupi kebutuhan materi keluarganya. Apalagi ketika melihat kehidupan keluarga yang aktif berdakwah. Seorang ayah,yang aktif berdakwah ke masyarakat jelas mau tidak mau waktu dan perhatiannya banyak tersita dan tercurah pada kepentingan umat yang lebih luas. Bagaimana bentuk perhatian orangtua, khususnya ayah, dalam membina istri dan anak-anaknya?
Dari sini, saya berusaha mencari literature yang bisa menjelaskan contoh praktis atau pelbagai praktik harian kepada anak-anak oleh sang ayah. Karena bagi saya, ini sesuatu hal yang unik dan penting dikaji lebih dalam. Karena ternyata, sejarah hidup para ulama besar dan salafusshalih, umumnya dilatarbelakangi sentuhan pendidikan yang diberikan oleh ayahnya. Bahkan didalam Al Quran tak satupun dialog antara anak dan orantua diwakili oleh ibu. Yang ada justru dialog anak dengan sang ayah. Pesan Luqman kepada anaknya, merupakan suatu potret di dalam kitab-Nya yang agung tentang dialog antara ayah dengan anaknya yang didokumentasikan oleh Al Quran Al-Karim. Pun, di dalam Al Quran juga,bagaimana Allah SWT memaparkan dialog bijak antara nabi Ibrahim ‘Alaihi Saalam sebagai seorang ayah dengan anaknya, Ismail ‘Alaihi Saalam yang tersurat secara gamblang dalam fragmen nabiyullah surat Ash Shaafaat ayat ke 102.
Membukukan banyak prestasi akhirat dalam mendakwahkan masyarakat adalah kewajiban yang patut ditunaikan. Tetapi sudahkah para ayah menjadi peletak dasar sebuah mabda’ yang membakar dalam keluarganya? Rasulullah saw, juru dakwah paling agung sekaligus seorang ayah, telah memberi contoh bahwa yang merasakan sentuhan pertama nilai pendidikan seorang da’i, justru orang terdekatnya. Jika ia seorang ayah, maka isteri dan anaknyalah yang merasakan sentuhan pertama. Demikian pula bila ia adalah seorang ibu.
Dalam hadits disebutkan Rasulullah saw tertawa bersama anak-anak. Rasulullah saw bahkan menggendong anak-anak dan sholat bersama anak-anak. Dari Abu Qatadah disebutkan, “ Rasulullah saw shalat bersama kami sambil menggendong Umamah binti Zainab. Jika ia sujud, diletakkannya Umamah. Dan bila ia berdiri digendongnya. “ Ada pula hadits dari An Nasa’i yang berasal dari Abu Barrah Al Ghifari bahwa Rasulullah saw shalat bersama para sahabatnya, lalu beliau sujud. Ketika itu, datanglah Hasan yang tertarik melihat Rasulullah saw sedang sujud, lalu naiklah Hasan ke punggung Rasulullah yang mulia saat beliau sedang sujud. Rasulullah saw memanjangkan sujudnya agar tidak menyakiti Hasan. Usai shalat Rasulullah saw meminta maaf kepada jamaah shalat dan mengatakan, “ Anakku tadi naik kepunggungku lalu aku khawatir bila aku bangun dan menyakitinya. Maka aku menunggu sampai ia turun. “
Luar biasa. Betapa tingginya perhatian Rasulullah saw terhadap anak-anaknya, bersamaan dengan betapa besarnya perjuangan yang harus dijalani Rasulullah saw untuk memancangkan tonggak dakwah Islam pada saat itu.
Lalu apa benang merah antara judul diatas dengan yang ingin saya sampaikan? Dalam bukunya yang berjudul Dreams From My Father, Barrack Obama–terlepas dari siapa obama sekarang– menguraikan banyak cerita tentang mimpi-mimpi ayahnya untuk sang anak. Satu penggalan kesimpulan yang saya petik dari buku tersebut, sang ayah berhasil merancang dan memprogram sang Obama junior, untuk menjadi penakluk Amerika bahkan dunia dengan ideologi kapitalismenya.
Dan baiklah, agar pembahasan kita kali ini lebih menukik ke judul yang saya ambil, izinkan saya mengutip sebuah dialog antara anak dengan ayahnya yang luar biasa.
Khalifah umar bin abdul azis, khalifah yang terkenal keadilannya di seantero zaman, pernah sangat tersentak dengan perkataan seorang pemuda berumur tujuh belasan tahun datang kepadanya. Ketika itu, khalifah Umar baru saja merebahkan badannya dan beristirahat sejenak usai menguburkan khalifah sebelumnya, Sulaiman bin Malik. Pemuda itu menghampirinya dan berkata, “ Apa yang ingin engkau lakukan wahai Amirul Mukminin?” Khalifah Umar bin Abdul Azis menjawab, “Biarkan aku tidur barang sejenak. Aku sangat lelah dan capai sehingga nyaris tak ada kekuatan yang tersisa.” Namun pemuda itu tampak tak puas dengan jawaban tersebut. Ia bertanya lagi, “ Apakah engkau akan tidur sebelum mengembalikan barang-barang yang diambil secara paksa kepada pemiliknya, wahai Amirul Mukminin?” Khalifah Umar bin Abdul Azis mengatakan, “Jika telah tiba waktu zuhur, saya bersama orang-orang akan mengembalikan barang-barang tersebut kepada pemiliknya. “ Jawaban itulah yang kemudian ditanggapi oleh sang pemuda yang membuat Khalifah tersentak, “ Siapa yang menjaminmu hidup sampai zuhur, wahai Amirul Mukminin?”
Pemuda belasan tahun itu bernama Abdul Malik, Ia putera Amirul Mukminin sendiri, Umar Bin Abdul Azis. Ya, Like Father Like Son, bahkan inipun juga berlaku ketika framenya berganti menjadi sebuah kedurhakaan. Baiklah, kita akan mundur beberapa dekade dari masa Khalifah Umar Bin Abdul Azis ke masa Umar Bin Khattab ra, yang sekaligus akan membuat anda dapat menarik kesimpulan yang khas, Like Father Like Son.
Seorang lelaki datang menghadap Amirul Mukminin, Umar Bin Khattab ra. Ia melaporkan kepada khalifah tentang kedurhakaan anaknya. Khalifah Umar lantas memanggil anak yang dikatakan durhaka itu dan mengingatkannya terhadap bahaya durhaka pada orangtua. Saat ditanya sebab kedurhakaannya, sang anak mengatakan. “Wahai Amirul Mukminin, Tidakkan seorang anak mempunyai hak yang harus ditunaikan oleh orang tuanya?” “Ya, “ jawab Khalifah. “Apakah itu?” Tanya si anak. Kemudian Khalifah menjawab, “ Seorang Ayah wajib memilihkan ibu yang baik untuk anak-anaknya, memberi nama yang baik dan mengajarinya Al Quran.” Lantas sang anakpun menjawab, “ Wahai Amirul Mukminin, Tidak satupun dari tiga perkara itu ditunaikan oleh ayahku. Ibuku seorang Majusi, namaku Ja’lan, dan aku tidak pernah diajarkan membaca Al-Qur’an.” Umar bin Khattab ra lalu menoleh kepada ayah dari anak tersebut dan mengatakan, “Anda datang mengadukan kedurhakaan anakmu, ternyata anda telah mendurhakainya sebelum ia mendurhakaimu. Anda telah berlaku tidak baik terhadapnya sebelum ia berlaku tidak baik kepada anda.”
'aisyah mumtaza
March 31, 2011 at 3:59 am
assalamualaikum warohmatullahi wabarokatu…
pa kabar pest…good ur article…i like it….ehmmm….tambah dewasa aja yach…jaga calon keponakan q yach……
miz u always my friendship…..luv u cz ALLAH SWT….
ami
December 6, 2011 at 1:11 pm
Asslm.
Artikelnya bagus,
kalo sempat, bagus jg klw dshare dtwitter mbak…